Jumlah Pengunjung Situs Ini

Selasa, 18 September 2012

Tantangan Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah


Ada sebuah seminar yang bertajuk ” prospek lulusan PLS” di Universitas Negeri Semarang yang dihadiri oleh para perwakilam mahasiswa PLS se-Indonesia. Isi dari acara tersebut adalah mempertanyakan bagaimana prospek lulusan PLS? Secara umum semua perwakilan mahasiswa mengungkap kurang tahu pasti mengenai prospek lulusan PLS. Mau jadi apa lulusan PLS? Tutor? Pamong? Penilik PLS? Guru? Pengelola PKBM? yang perlu digaris bawahi dalam acara tersebut adalah bagaimana kompetensi lulusan PLS saat ini?

Tidak ada jawaban yang pasti dalam acara tersebut, jangankan mahasiswa yang mendiskusikan hal tersebut, narasumber yang diwakili oleh dosen serta lembaga terkait dengan PLS sendiri pun tidak bisa memberikan jawaban yang pasti tentang lulusan PLS. Bagaimana mau membelajarkan masyarakat, membelajarkan mahasiswanya pun apa adanya. Sepertinya ucapan Eric Hoffer­ ” tidak bisa beradaptasi, terlalu lambat belajar, masih mengikuti aturan, teori, dan pemikiran kuno” akan terasa sekali dalam benak kita.
Ironis sekali ketika mahasiswa PLS berpikiran sampai jauh ke depan namun tanpa hasil, sementara lembaga pencetak lulusan PLS sendiri “angkat tangan” dengan hasilnya, ini seperti dinosaurus[1].
Frame PLS seakan sudah menyatu dengan hal-hal semacam itu. Maka persoalan pertama kita dalam menciptakan perubahan adalah bagaimana membuka mata orang-orang di sekitar kita untuk “melihat”. Tetapi setelah melihat, persoalan berikutnya adalah “bergerak”. Dan sebagian orang yang bergerak gagal menyelesaikan perubahan itu sampai tuntas. Perlu suatu perubahan karena mahasiswa PLS gagal melihat (failure to see), gagal bergerak (failure to move), atau gagal menyelesaikan (failure to finish). Mungkin ucapan Dr. Mahathir Mohammad “Kita harus siap memeriksa setiap ajaran kuno, melepaskan pendapat yang sudah tertanam. Dalam pencarian informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan, kita harus siap menghadapi realitas. Kita harus menyambut perubahan, mengejar hal baru, mencari inovasi. Kita harus belajar. Lebih sulit lagi, kita harus tidak belajar. Kita harus ingat untuk melupakan cara lama. Kita harus memaksa diri kita untuk kebiasaan baru. Kita harus membangun proses, institusi, dan organisasi baru yang diperlukan untuk Zaman Informasi.” perlu diperhatikan oleh para praktisi pendidikan.

Dari lubuk hati saya yang paling dalam, “Ayo Bangkit Pendidikan Luar Sekolah”. Semoga tahun yang silam membawa kenangan manis, dan tahun mendatang membawa banyak kemajuan. Semoga para alumnus PLS mampu mengukirkan nama harum di muka bumi ini.

Bila kita amati lulusan jurusan pendidikan luar sekolah (PLS), hanya sebagian kecil yang mempunyai kemampuan dan akses untuk berwiraswasta. Sebagian besar lainnya berkarya dalam berbagai badan usaha atau perusahaan sebagai tenaga profesional.

Secara umum, kualitas lulusan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang mampu berprestasi tinggi (dalam arti luas, bukan hanya bidang akademik saat kuliah), yang jumlahnya hanya sekitar 10%. Mereka ini memang mampu mengharumkan nama almamater. Namun untuk kalangan pemakai lulusan (user), faktor penentu kualitas citra jurusan PLS, justru lebih banyak ditentukan oleh sebagian besar lulusan yang berjumlah 90% lainnya.

Karena itu, mohon dimaklumi kalau porsi terbesar dari tulisan ini justru secara sengaja diarahkan pada kelemahan-kelemahan yang dapat diamati, yang menyebabkan sebagian besar lulusan kurang mampu berperan mengharumkan almamater mereka. Tujuan dari kesengajaan untuk mengamati permasalahan tersebut hanyalah satu, yakni menyajikan potret yang jujur agar nantinya dapat dilakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas jurusan PLS sekaligus kualitas lulusan yang dihasilkannya.

Dalam garis besarnya, terdapat empat permasalahan yang cukup menonjol kalau diamati potret umum lulusan PLS akhir-akhir ini. Keempatnya berpengaruh terhadap dunia kerja. Permasalahan tersebut terkait dengan karakter mahasiswa (dan lulusan), dosen, kurikulum, serta manajemen jurusan PLS. Sebagai potret umum, tentunya paparan masalah yang diuraikan di sini tidak berlaku untuk semua lulusan, namun cukup menggejala di banyak lulusan sehingga mempengaruhi keseluruhan potret lulusan PLS.

Kelemahan Karakter Mahasiswa

Dalam kaitan karakter mahasiswa dan lulusan, paling tidak terdapat dua permasalahan yang mencuat kepermukaan. Kedua permasalahan tersebut akan dilihat secara utuh, karena akar munculnya masalah sering justru sudah dimulai pada saat pendidikan dasar. Pertama, adanya tanda-tanda yang semakin memprihatinkan tentang adanya krisis nilai etis-normatif pada lulusan PLS, khususnya dalam pegangan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan daya juang dalam bekerja. Untuk memahami masalah ini secara lebih akurat, sudah tentu akar masalahnya tidak hanya baru muncul selama tahapan hidup sewaktu menempuh pendidikan di universitas, namun harus dirunut balik ke pendidikan dasar. Dengan kata lain, mau tidak mau, iklim pendidikan secara keseluruhan perlu dilihat.

Kedua, sikap hormat dan segan terhadap pendidik juga kurang. Peserta didik juga kurang mandiri. Digantikan oleh sikap ketakutan dan ketergantungan. Pendidik juga ikut bertanggung jawab atas munculnya masalah ini. Ada sebagian pendidik yang sadar, sadar atau tidak sadar, kurang berusaha secara optimal untuk mengajar sejelas-jelasnya di kelas. Perlu dipertanyakan apakah pendidik yang semacam ini benar-benar mempunyai panggilan hidup untuk berkiprah di dunia pendidikan, atau “pekerja biasa” yang memanfaatkan lahan pendidikan untuk kepentingannya?

Mungkin pihak jurusan PLS bisa berdalih, soal karakter mahasiswa bukan tanggung jawabnya. Memang, waktu yang dihabiskan mahasiswa di kampus sangat singkat dibandingkan waktu yang dihabiskan di rumah, sehingga orang tua ikut bertanggung jawab. Namun kalau dilihat kualitas lulusan dapat mempengaruhi citra institusi pendidikan yang meluluskannya, maka semestinya pihak jurusan juga perlu memperhatikan pengembangan karakter mahasiswa tersebut. Asumsinya kejahatan dan perilaku-perilaku menyimpang yang ditunjukan oleh lulusan universitas pada umumnya sangat mungkin jauh lebih berbahaya dibandingkan perilaku sama yang ditunjukan oleh orang yang kurang berpendidikan.

Kelemahan karakter dosen

Dilihat dari sudut pandang penulis sebagai pengguna (user) lulusan PLS, kelemahan dosen bersumber dari kenyataan sebagian besar dosen bukan berasal dari dunia kerja bahkan mungkin sama sekali tidak pernah mencicipi bekerja di luar bidang akademis. Kalau mereka mengatakan tahu tentang seluk-beluk dan permasalahan yang terdapat di dunia kerja, sering itu hanya merupakan cerminan dari ungkapan pengalaman orang lain atau hasil dari membaca buku. Sangat mungkin orang akan melebih-lebihkan atau meremehkan situasi dunia kerja, sehingga kurang proporsional. Dosen yang tidak pernah tahu secara persis dan proporsional tentang situasi dunia kerja ini lebih banyak dikondisikan oleh pola pikir yang ada di buku-buku, dan di-“nina-bobo”-kan oleh teori-teori yang diyakininya sebagai kebenaran.

Pihak jurusan juga harus proaktif untuk mengirim dosen-dosennya melakukan penelitian yang bermutu di lembaga yang terkait dengan lulusan PLS. Tidak hanya semata-mata melakukan penelitian dengan profit oriented tapi dilandasi dengan semangat dan tanggung jawab terhadap lulusan yang dihasilkannya. Sampai saat ini, seolah-olah seorang lulusan PLS dianggap sudah cukup kompeten untuk mangajar begitu ia memperoleh ijazah sarjana. Mau ngajar apa lulusan PLS? Padahal ia harus terus meningkatkan kemampuannya dengan belajar secara formal pada strata yang lebih tinggi, dan secara nonformal melalui keterlibatan langsung dalam mempelajari dan mengatasi permasalahan di dunia kerja.

Kelemahan kurikulum

Yang perlu disoroti dalam kurikulum adalah relevansi muatan kurikulernya. Bahwa jurusan PLS harus menyajikan pendidikan yang berkualitas dan menyesuaikan kurikulum agar sesuai kebutuhan dunia kerja sudah merupakan keharusan. Kualitas dan relevansi memang sangat berkaitan. Kualitas lebih menekankan aspek-aspek di dalam jurusan PLS, misalnya kualifikasi dosen, perencanaan dan manajemen sumber daya pendidikan, dan organisasi program. Jadi lebih dekat dengan prinsip efisiensi dan optimasi dalam pengelolaan di dalam jurusan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sedangkan relevansi mengacu pada peran jurusan PLS dalam mendukung tumbuhnya nilai-nilai positif pada masyarakat, dalam menunjang pertumbuhan ekonomi melalui sumbangan-sumbangannya terhadap dunia kerja, dan dalam mendefinisikan perannya dalam keseluruhan sistem pendidikan.

Laboratorium merupakan tempat yang sesuai untuk menunjang keperluan mahasiswa dalam mengembangkan potensi dalam bidang akademik, selayaknya dijadikan sebuah tempat praktek bagi semua mahasiswa yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kurikulum PLS. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan harapan tersebut, yang ada adalah sebuah tawaran untuk masuk salah satu kajian dan itu pun tanpa keharusan, ini merupakan sebuah pembatasan bagi mahasiswa untuk mengetahui secara utuh semua program PLS yang sangat “luas”.

Secara umum, kurikulum PLS memang sudah dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar, juga termasuk kebutuhan dunia kerja. Namun perlu dicatat, tak jarang permasalahan di lapangan lebih cepat bergerak dibandingkan kemampuan teori untuk mampu menerangkan sepenuhnya. Karena itu, kurikulum mungkin sekali menjadi kurang relevan atau bahkan usang untuk menjawab permasalahan aktual yang dihadapi dunia kerja.

PLS bukan tempat kursus yang memang dirancang untuk melatihkan keterampilan-keterampilan khusus, tapi lembaga pendidikan. Karena itu menuntut jurusan PLS untuk menghasilkan lulusan yang siap pakai memang tidak proporsional. Tuntutan terhadap jurusan PLS yang lebih realistis adalah menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan untuk belajar (learning to learn). Lulusan yang siap belajar akan mampu beradaptasi dengan secara cepat dengan dunia kerja, sehingga mereka lebih cepat mengembangkan kemampuan profesional mereka.

Konsekwensinya, jurusan PLS harus lebih menonjolkan pendidikan logika (cara berpikir yang sistematis dan terarah) dan kemampuan sosial untuk berkomunikasi serta bekerja secara team work. Kemudian pada tahun-tahun terakhir, barulah mahasiswa dibekali pengetahuan (khususnya pengetahuan terapan) dan keterampilan yang lebih khusus mempersiapkan mereka memasuki dunia profesional.

Kelemahan manajemen pendidikan

Secara logis mestinya dapat di duga, orang dengan prestasi akademik memuaskan (indeks prestasi atau IP tinggi) akan mempunyai prospek keberhasilan kerja yang lebih baik di bandingkan lulusan dengan IP yang lebih rendah. Namun sering keenyataannya tidak demikian. Hal ini dapat membingungkan pengusaha yang membutuhkan karyawan baru karena mereka kehilangan pegangan dari kriteria kelulusan. Semula diyakini IP yang baik merupakan indicator yang layak dipercaya, namun rupanya sekarang diperlukan sikap yang lebih hati-hati dalam peneriamaan karyawan baru lulusan Universitas atas dasar IP.

Beberapa karyawan yang penulis pernah tanya dan mereka berhasil, malah mereka yang kadang hanya berprestasi akademik cukup. Sedangkan mereka yang berprestasi akademik sangat tinggi sering memberikan tuntutan berlebihan dalam hal gaji, perhatian, layanan dan fasilitas, namun kurang ditunjang ketangguhan daya juang yang sama besarnya. Dari wawancara dengan mereka, diketahui, mereka mengembangkan sikap mental professional dan minat kerja melalui aktivitas-aktivitas di luar kegiatan kampus. Misalnya, mereka menekuni hoby sendiri, memperbanyak praktik sendiri, menyediakan fasilitas sendiri, dan mempersiapkan diri sendiri untuk memasuki dunia kerja.

Asumsinya, jurusan PLS selayaknya menyediakan fasilitas cukup memadai dan kesempatan cukup luas agar mahasiswa berlatih mempersiapkan sikap professional dan minat keahlian sewaktu mereka memasuki dunia kerja. Kalau lulusan yang berhasil ternyata lebih banyak didasarkan pada usaha sendiri, sedangkan pihak jurusan PLS kurang memberikan dukungan memadai, maka bisa dikatakan manajemen pendidikan masih belum dilakukan secara optimal.
Sumber:IMADIKLUS.com 

1 komentar:

  1. Pendidikan PLS, andai kita menyadari secara seksama tentu berpeluang menjadi prospek kehidupan dunia dan akhirat, hanya saja kita belum sepenuhnya memahami fungsi serta kegiatan apa yang harus dikerjakan oleh Sarjana PLS, dan kita terkadang terfokus pada pemikiran Pekerjaan yang menghasilkan 100 % income materi, dan inilah kendala yang terjadi. andai kita berfikir pendidikan PLS, adalah ilmu untk membuka Ruang gerak seorang anak Manusia dimana terjadi hal-hal diluar kemampuanya. dan disinilah peran utama PLS sangat dibutuhkan...

    BalasHapus